Rabu, 01 Juli 2009

surat dari mantan istri

Surat dari Mantan Istri Cerpen Gerson Poyk Dimuat di Suara Pembaruan 03/10/2002 Bangun pagi-pagi aku ke beranda depan untuk mengambil koran. Rupanya hujan baru saja berhenti. Hujan pagi. Koran yang dilempar ke halaman terbungkus plastik. Begitu pula sepucuk surat yang tebal. Karena surat itu datang dari Amerika, melalui beberapa negara, apalagi dari sebuah negara sasaran terorisme internasional,maka aku tak berani memungut surat itu dengan tangan. Dengan sebuah penjepit aku bawa surat itu ke dapur, menghidupkan kompor gas lalu memanggang surat itu. Sudah tentu dengan sangat hati-hati supaya tidak terbakar. Perbuatan sok steril itu cukup lama sampai dengan perasaan lega karena merasa bahwa setan virus bakteri terorisme biologis global keparat dalam surat itu tersikat habis oleh panasnya kompor gasku. Walaupun demikian, aku masih belum berani memegangnya dengan tangan untuk merobek amplopnya. Aku mengambil gunting yang panjang,dan sambil tangan kiri memegang jepitan tangan kanan menggunting pinggiran amplop, lalu mengeluarkan surat itu. Masih belum yakin atas kematian virus atau bakteri di amplop itu, aku memanggang sekali lagi. Beres. Surat itu kubaca tanpa rasa takut sedikit pun. Mantan suamiku yang baik, Aku harap Anda sehat-sehat saja di hari tua Anda. Apa sudah pensiun? Aku dengar Anda menjadi dosen fisika di sebuah universitas swasta. Temanku Jane pernah bertemu Anda dalam sebuah seminar. Bagaimana dengan istrimu? Livernya bagaimana? Anda harus jaga diri. Aku harap begitu sejak Anda kawin. Aku harap Anda telah menjaga diri sejak menikah dengannya. Apakah begitu? Melihat usia perkawinanmu aku rasa Anda telah memakai kondom sehingga tidak tertular. Aku belum mendengar Anda tertular. Syukurlah. Ada berita bagus. Anakmu Frank telah lulus sebagai insinyur. Kini ia sudah bekerja dan sedang menabung untuk bisa melihat ayahnya di Indonesia. Profesor Ivan, kakek anakmu sudah lama pensiun, tetapi masih bekerja paruh waktu di sebuah proyek yang entah di mana. Melihat keahliannya, aku khawatir ia ''dipenjarakan'' di sebuah pabrik senjata. Anakmu tidak suka dengan hal yang demikian itu. Baru-baru ini ia ikut demonstrasi. Aku sendiri masih mengajar di universitas. Biasa. Masih sebagai profesor musik. Habis, aku hanya seorang etno-musikolog. Baru-baru ini kami memesan satu kontainer alat-alat musik etnis Indonesia, mula dari gamelan sampai sasando. Temanku, kurator museum tekstil ingin ke Indonesia untuk membeli kain tenun ikat asli. Dia juga ingin melihat pekerjaan menenun, mulai dari memintal sampai mengikat, celup dan tenun. Konon satu kain ukuran L berharga sepuluh ribu dolar. Bagaimana dengan kebun kapuk, kapas dan sanggar tenun Anda di pinggiran Jakarta, dekat sungai itu? Kalau sudah ada kainnya, kirim berita. Saya sudah menemukan pasaran di sini. Juga untuk kebun vanili itu. Harga vanili di Amerika cukup menjanjikan. Jangan mencari pasar ke negeri lain. Teman-teman dari China Town selalu bertanya tentang sarang burung dari Indonesia. Apa rumah gedongan besar untuk walet di pantai utara Bekasi, di desa Langar Sari itu sudah menghasilkan? Saya cari di internet, kok tidak menemukan tulisan mengenai sarang burung. Hanya berita kerusuhan, pembunuhan, korupsi dan bencana banjir. Hati-hati dengan banjir. Kalau ke kampus untuk mengajar jangan naik mobil. Naik saja sepeda biar sehat. Jakarta itu datar. Sekian dulu sayang. Salam dari Wati pembantu rajin itu, serta suaminya si Akang. Dari mantan istrimu yang jauh, dan anakmu tercinta. Aku segera menulis surat balasan kepada mantan istriku. Ibu dari anakku tercinta, Aku gembira mendapat suratmu. Gembira sekali bahwa putra tunggal kita satu-satunya yang lahir dari perkawinan liburan jarak jauh telah lulus dan bekerja. Pertama berita mengenai kerusuhan primordial di negeri ini. Tampaknya agak mereda walaupun aku yakin ideologi mutlak di batok kepala manusia yang memusuhi negara Pancasila masih belum bisa dicungkil dan dibuang. Memang ideologi permusuhan sukar dipantau. Pepatah Indonesia mengatakan, dalamnya laut dapat di duga tetapi dalamnya hati, siapa tahu. Walaupun demikian, laut dan hati orang Indonesia dapat di lihat dengan jelas. Gemuruh ombaknya dapat didengar. Namun bangsa ini adalah bangsa double face. Sudah jelas retorika kebencian terdengar di mana-mana namun masih saja pemimpin dan aparat negeri ini membiarkan singa mengaum-ngaum. Semuanya dibiarkan, sehingga banjir meluap sampai di leher. Bukan saja banjir dari langit tetapi juga banjir darah yang datang dari teologi pembunuhan. Bangsa ini memiliki standar ganda. Dalam dirinya ada ide absolut yang datang dari teologi pembunuhan itulah, disamping ada ide moderat yang datang dari teologi cinta-kasih. Terjadi pembunuhan dan kerusuhan karena dua-duanya ada dalam diri bangsa ini, terutama pemimpinnya. Dengan kata lain bangsa ini adalah bangsa pribadi pecah, bangsa skizofrenik. Di satu pihak dia manusia, di lain pihak dia kanibal. Kalau bangsa ini menyaring dan membuang ide serta kemauan untuk membunuh, lalu tegakkan peri kemanusiaan yang adil dan beradab, maka bangsa ini akan tetap menganut ideologi Pancasila dan bukan ideologi lain. Kerusuhan terjadi karena di kantong yang satu ada Pancasila tetapi di kantong lain ada roh yang menghancurkan Pancasila itu. Anda melihat tayangan banjir di televisi Amerika? Sudah terlalu banyak komentar tentang banjir di Indonesia. Memang kata orang banjir di Indonesia disebabkan oleh ekonosentrisme. Para penguasa dan pengusaha di negeri ini sangat myopic. Bayangkan saja, bank-bank dikempiskan utuk menanam batu dan merusak hutan-hutan di negeri ini. Anehnya, keuntungan dari menjual kayu-kayu hutan itu besar sekali, tetapi para pengusaha tidak mengembalikan utangnya kepada bank. Akibatnya utang bertumpuk. Utang kepada luar negeri sudah setinggi gunung. Konon sudah seribu lima ratus triliun. Bagaimana bisa membayar utang itu? Bangsa ini adalah bangsa yang gampang sekali bunuh diri. Negara ini sudah dikuasai oleh utang. Anehnya kelas menengah yang timbul dari utang, korupsi, kolusi dan nepotisme itu masih menyesakkan Jakarta dengan mobil-mobil mewah pribadi dan bukan dengan kendaraan umum. Kelas menengah yang tumbuh dari utang dan KKN itu tidak tahu bagaimana mengatasi utang itu, di samping mengatasi pengangguran dan urbanisasi. Dalam sebuah seminar di kampusku, aku sudah berteriak-teriak bahwa kalau di India purba ada panchayat (desa mandiri), maka di Indonesia ada desa tradisional yang makin suram ditinggalkan oleh generasi mudanya. Yang tinggal hanya orang-orang tua berambut putih, ompong, tak bertenaga untuk mengolah desanya, sawah ladangnya dan menjaga hutan sekitarnya. Menteri transmigrasi berkaok-kaok tentang transmigrasi gaya baru di mana bukan saja pendatang yang mengolah dataran-dataran atau lembah-lembah subur, tetapi juga penduduk setempat. Dalam seminar itu aku bilang, sarjana dan seniman harus tinggal di desa atau daerah transmigrasi itu. Mereka harus membawa komputer, internet, printer, mesin cetak kecil untuk membuat buletin atau media cetak lain. Informasikan kegiatan bertani melalui internet dan media cetak. Juallah informasi itu dan uangnya dipakai untuk mengolah tanah, menanam bahan pangan, serat untuk tenunan dan anyaman. Aku bilang dalam seminar itu, seniman membuat media panggung. Ini salah satu media informasi di milenium ketiga itu. Giatkan pertunjukan teater, tari, musik, pergelaran puisi, pameran, bazar dan sebagainya. Adakan pertandingan olahraga dan festival kesenian antarkecamatan, antarkabupaten, antarprovinsi dan antarnegara. Mereka, para seniman penari, aktor-aktris akan membawa pulang uang untuk dipakai mengolah tanah mereka. Salah satu media informasi yang penting adalah radio dan video. Buatlah di desa sarjana itu pemancar mini yang murah. Kamera handy merekam semua kegiatan dan keunikan wilayah itu dan juallah ke luar negeri. Hasil bumi seperti pangan, kerajinan, bisa dijual melalui internet. Sarjana dan seniman yang datang ke desa baru itu perlu belajar dari petani setempat. Sebaliknya petani belajar dari para sarjana dan seniman. Kedua kelompok sama-sama menghadapi kebun mereka dan sama-sama go international. Tetapi sayang. Masih seperti dulu, manusia Indonesia, terutama para pengambil keputusan di negeri ini yang bertelinga terowongan. Masuk kiri keluar kanan. Padahal kalau ada dua juta desa modern yang dikelola oleh sarjana, seniman dan petani dengan media informasi tiga rupa itu, maka lima puluh juta penganggur dan makhluk urban akan dengan segera menjadi pimpinan di lembah subur dataran luas. Dalam tempo satu tahun saja, penganggur bisa dapat makan dari tanah dan air di benua maritim ini. Itulah gagasanku mengenai bagaimana mengatasi pengangguran dan kemiskinan, bagaimana mengosongkan metropolitan banjir, demam berdarah, muntaber seperti Jakarta ini. Bagaimana membayar utang. Kita kena musibah besar, sayang. Waktu hujan turun terus menerus, aku sendirian di rumah. Wati dan suaminya Akang, kusuruh ke kebun untuk menjaga burung-burung walet. Ketika hujan makin deras dan banjir mulai masuk rumah kebun setinggi tumit, si Akang memboyong istrinya ke gedung walet yang besar itu. Ia membawa aqua, satu tas pakaian, tikar, sebuah kompor dan lima liter beras serta beberapa bungkus mi. Air makin naik. Keduanya naik ke loteng dan amanlah mereka dari banjir. Tinggi loteng lima belas meter sehingga keduanya tidak khawatir sama sekali, ketika banjir mencapai ketinggian sembilan meter. Bagaimanapun, ketika siang tiba, Wati melihat ke luar. Ternyata sekelilingnya telah menjadi satu dengan laut. Padi di sawah telah lenyap. Hanya beberapa pohon kapuk yang berdiri tegak. Namun ia sedih karena semua kotak lebah piaraan telah tenggelam dan hanyut. Walaupun bunga kapuk akan tetap setia memberi madu kepada lebah, namun kotak-kotaknya telah tiada. Wati menangis. Sedih karena ia mengharap, anak di perutnya akan diberi madu dan susu, namun semuanya hilang. Bersama padi dan pisang-pisang yang sedang berbuah. Karena panik, Wati lupa membawa beras ke loteng sehingga mereka hanya memasak mi. Ketika minya habis, keduanya memetik sarang burung lalu memasaknya. Sayang, mereka tak membawa garam dan bumbu. Tiba-tiba, perut Wati sakit. Si Akang, suaminya bingung. Ia segera mengatasi kebingungannya dan bertindak menolong persalinan istrinya. Tidak salah lagi. Kepanikan membuat kandungan istrinya yang baru berumur delapan bulan itu terganggu. Keika perahu karet kami tiba, air sudah lebih tinggi dari pintu dan jendela sehingga kami harus membobol tembok dengan martil besar lalu perahu karet kami masuk. Kami melompat ke loteng dan melihat si Akang sedang meraung-raung di depan mayat Wati dan anaknya yang hanya menongolkan kepalanya.***

Tidak ada komentar: