Kamis, 02 Juli 2009

perempuan yang masih berani memulai mimpi

Perempuan yang Masih Ingin Berani Memulai Mimpi Oleh : hanina rembulani Perempuan itu kini tidak mengharapkan apa pun. Tidak juga sekadar bermimpi. Bukanlah kepesimisan yang pelan-pelan, kemudian bertambah cepat, sedang membunuh jiwanya. Tapi, dia hanya berusaha menyesuaikan dirinya pada realitas yang ada. Tidak lagi ia sanggup bermimpi. Bermimpi membangun rumah tangga. Padahal, sejak kelas tiga SMU, atau enam tahun yang lalu, impian itu menjadi salah satu poin besar rancangan hidupnya. Tapi kini tidak lagi. Kini, ia hanya ingin mengalir seperti air. Ia tak ingin mematok target lagi. Sebab ia tidak ingin air matanya kembali tertumpah hanya karena keinginan yang entah kapan akan terwujud. Bukan karena dirinya mengidap penyakit AIDS, kanker rahim, atau apa pun itu, yang kemungkinan besar akan membuat seorang laki-laki harus berpikir keras untuk menjadikannya sebagai pendamping hidupnya. Bukan. Bukan itu. Tapi karena kondisi yang dialami dirinya, lebih tepatnya keluarganya, yang menyebabkan dirinya tak sanggup lagi berkeinginan berumah tangga. Bahkan untuk sekadar bermimpi. Kita semua pasti setuju, bahwa jika seseorang akan menikah, maka ia harus menyiapkan mental, fisik, materi, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan perempuan itu. Ia, perempuan itu, harus menambah tuntutan tersebut dengan satu persiapan lagi. Yaitu bekal untuk menghadapNya di akhirat nanti. Memang, bukan hanya perempuan itu yang harus menyiapkan bekal ke akhirat dengan sebaik mungkin. Melainkan setiap mukmin. Tapi, bagi perempuan itu, persiapan bekal akhirat menjadi sesuatu yang wajib adanya. Sebab, ketika ia memutuskan untuk menikah, nyawanyalah yang akan dipertaruhkan. Benarkah? Ya, benar. Karena kakak pertamanya belum menikah. Perempuan. Mengidap penyakit kejiwaan. Dan..., pernah mengancam akan menghabisi nyawa adiknya, perempuan itu. Setidaknya, itulah yang terlontar dari mulut sang kakak perempuan itu. Itu terjadi ketika sang kakak tahu bahwa ada seorang laki-laki sholeh yang ingin melamar sang adik, perempuan itu. Amarah liar kakaknya itu menjadi-jadi. Barang-barang pecah belah pun di lemparnya di depan mata perempuan itu. Teriakan histeris sang kakak membahana, hingga keesokan harinya para tetangga mulai menatap keluarga perempuan tersebut dengan tatapan yang tidak seperti biasanya. Akan tetapi, sesungguhnya, perempuan itu tidak takut mati. Bahkan di tangan kakaknya sendiri yang mengidap skizofrenia sejak sembilan tahun yang lalu. Tidak. Ia tidak takut mati. Yang ia takutkan hanyalah, apabila sepeninggalnya nanti, orang-orang yang dicintainya justru tidak kuasa menghadapi cobaan ini. Tidak sanggup mengikhlaskan semua ini. Yang ia takutkan adalah jika adik laki-lakinya yang begitu disayanginya, yang juga tidak begitu kuat mental dan ruhiyahnya itu (akibat sembilan tahun berhadapan dengan seorang kakak yang terganggu jiwanya), akan semakin dalam memasuki jurang. Hingga untuk kembali ke rumah setelah bekerja seharian, bukanlah menjadi pilihan utama. Melainkan lebih baik menginap di rumah teman. Dan perempuan itu tidak tahu, apakah sang teman akan mengingatkan adiknya bila waktu sholat telah tiba? Akan mengingatkan jika jalan sang adik mulai menyimpang? Yang perempuan itu takutkan pula, jika kedua orang tua yang begitu dikasihinya, tidak lagi kuat menahan tatapan sinis para tetangga, yang seakan-akan memperolok mereka: "Kalian orang tua yang gagal mendidik anak. Lihat saja, seorang anaknya sakit jiwa..." (Padahal, perempuan itu yakin benar bahwa ujian ini sebenarnya bisa saja ditimpakan Allah kepada siapa saja. Namun Allah memilih keluarga perempuan itu untuk menghadapinya). Tidak. Ia tidak sanggup melihat mata kedua orang tuanya semakin sembab setiap pagi, akibat sepertiga malam terakhirnya selalu membanjiri sajadah mereka dengan doa pengharapan agar sisa kebaikanNya masih tetap terselip bagi keluarga perempuan itu. Akhirnya, seiring berjalannya waktu, perempuan itu kini mencoba berharap kembali padaNya. Mencoba untuk berani memulai mimpinya yang sempat menguap begitu saja. Ia masih ingin, ingin sekali membangun rumah tangga Islami yang dulu pernah didambakannya dengan seorang laki-laki sholeh, yang lebih kuat keimanannya dari pada dirinya. Meskipun, ia juga sangat menyadari, kondisinya masih saja tidak semudah yang ia bayangkan. Ia hanya ingin memasrahkan segalanya padaNya, apa pun itu keputusanNya. Hingga akhirnya, beruntunglah ia masih berani menyimpan sebuah doa, yang selalu ia panjatkan sebelum tidur malamnya, "Allah, jika engkau tidak memperkenankan aku bertemu penamping hidupku di dunia ini, berikanlah ganjaran yang terbaik di sisiMu kelak..." Alhamdulillah. Sejak itu, sang perempuan menjadi lebih kuat dari pada sebelumnya. Karena ia percaya, segala sesuatu pasti ada batasnya. Karena ia percaya, air mata tak abadi, akan hilang dan berganti. Pun ia percaya, semakin besar ujian seseorang, semakin besar pahala yang akan didapatkan jika keikhlasan menjadi perisainya. Apalagi ia juga percaya..., bersama kesulitan, ada kemudahan.... Seperti sekarang ini. Ia memang masih sulit menghadapi perangai kakaknya. Tapi ia diberiNya kemudahan untuk menjadi seorang muslimah yang benar-benar Islam. Mampu berserah diri padaNya setulus-tulusnya...

Tidak ada komentar: