Minggu, 26 Juli 2009

Insomnia

Insomnia Cerpen Anton Kurnia Dimuat di Sinar Harapan 05/02/2002 Senja sedang mekar-mekarnya. Langit yang luas tampak cerah diterangi oleh matahari yang hendak bersembunyi di balik cakrawala. Gumpalan awan putih dan lembut membiaskan cahayanya. Saya sedang duduk sendirian di ruang depan rumah kontrakan, di atas sofa yang sudah usang, asyik menikmati segelas kopi dan sepotong roti untuk sarapan. Saya memang baru bangun tidur dan belum makan apa pun seharian.

Bukan tidur siang, melainkan tidur. Sudah beberapa minggu ini saya menderita semacam insomnia. Saya sulit tidur di malam hari dan setelah nyaris separuh malam berbaring gelisah di atas tempat tidur dengan mata nyalang dan pikiran mengembara ke mana-mana, saya biasanya baru terlelap karena letih dan putus asa di pagi hari. Baru menjelang sore saya terbangun dengan sekujur tubuh pegal-pegal dan seluruh urat syaraf digantungi oleh rasa malas. Begitu pula hari ini.Setelah ke kamar mandi untuk buang air, mencuci muka dan menggosok gigi, lalu menjerang air, menyedu kopi dan mengolesi setangkup roti dengan selai nanas, saya duduk bermalas-malasan di depan televisi yang terletak di ruang depan rumah kontrakan saya. Saya biarkan televisi itu menyala sementara saya memandang lepas ke seberang rumah melalui kaca bening yang lebar dan tertutup tirai transparan sambil mengunyah roti perlahan-lahan. Saya bisa melihat keluar dengan leluasa melalui tirai itu, tetapi mereka yang di luar tak bisa melihat saya. Mereka hanya bisa melihat bayang-bayang yang terpantul pada kaca yang lebar. Dan saya menikmati sepenuhnya keuntungan itu. Sesekali saya menjulurkan kaki ke atas meja dan meregangkan otot-otot tubuh yang jarang digerakkan untuk berolah raga, menguap lebar-lebar dengan merdeka tanpa takut dianggap tidak beradab. Setelah roti habis, saya menyeruput kopi sedikit demi sedikit dan menyalakan sebatang rokok, lalu mengisapnya dengan santai sambil melihat pemandangan di luar: orang-orang yang lalu-lalang, perempuan yang lewat sambil menyusui anaknya, rumah mungil bercat biru di seberang rumah. Rumah kontrakan yang saya tempati terletak di sebuah gang yang padat oleh rumah-rumah penduduk. Di bagian depan rumah itu terdapat sebuah beranda kecil tempat saya menaruh dua buah pot bunga berisi tanaman suflir. Beranda itu berlantai keramik putih, membuatnya tampak indah dan bersih. Kadang-kadang saya mengepel lantai beranda itu malam-malam dan menyirami kedua tanaman di dalam pot apabila saya tidak bisa tidur dan kehabisan gagasan untuk melewatkan waktu setelah semua acara televisi usai dan mata saya sudah terlalu penat untuk digunakan memelototi layar komputer.Suatu kali saya menemukan bahwa lantai keramik yang putih bersih itu dikotori oleh jejak-jejak kaki binatang. Pada mulanya saya biarkan saja dan kotoran itu saya bersihkan tanpa banyak cingcong pada malam harinya saat orang-orang sudah tertidur lelap di rumah masing-masing. Saya tak ingin terlihat sedang mengepel lantai yang dikotori oleh jejak binatang oleh orang lain. Lama-kelamaan, karena binatang itu tidak kapok-kapok juga dan mulai bertindak lebih jauh dengan merusak tanaman suflir kesayangan saya, akhirnya terpaksa saya bertindak tegas. Saya membunuhnya tanpa setahu orang lain. Lalu, bangkainya saya buang ke tempat penampungan sampah, tak jauh dari gang tempat saya tinggal. Saya melakukan semua itu secara diam-diam pada suatu malam, saat saya tak bisa tidur untuk kesekian kalinya. Pada dasarnya saya bukan orang yang suka kekerasan. Namun, bukankah dalam hidup ini kita terkadang mesti melakukan hal-hal yang tidak kita sukai? Saya belum lama menghuni rumah itu. Baru sekitar tiga bulan. Sebelumnya saya tinggal di sebuah tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal saya sekarang. Saya memutuskan untuk pindah dari tempat itu karena ongkos sewanya naik cukup tinggi untuk ukuran kantong saya. Rumah ini akhirnya saya pilih sebagai tempat tinggal yang baru karena harga sewanya relatif murah meskipun suasananya terkadang agak bising. Saat itu saya memang sedang tidak punya banyak uang. Sebetulnya rumah ini cukup menyenangkan. Dengan dua buah kamar berukuran mungil yang salah satunya saya jadikan ruang kerja, sebuah beranda di bagian depan dan sepetak halaman di bagian belakang yang bisa saya tanami bunga dan digunakan untuk menjemur cucian, saya cukup leluasa di rumah ini. Toh, saya hanya tinggal sendirian. Kalau pun ada yang agak mengganggu, itu karena rumah ini terletak di sebuah gang yang padat penduduknya dan terkadang agak bising.Saya bisa dibilang tidak bergaul dan amat jarang bertegur sapa dengan orang-orang yang tinggal di sekitar rumah kontrakan saya. Mungkin itu membuat saya tampak aneh di mata mereka. Saya bukan orang yang sombong, tetapi saya juga bukan orang yang senang berhandai-handai. Saya adalah seorang penyendiri. Dan menurut saya itu bukanlah sesuatu yang salah. Toh, saya tidak merugikan siapa pun dengan kesendirian saya itu. Mungkin, dalam hal ini, satu-satunya kesalahan saya adalah karena saya berbeda dengan kebanyakan orang.Walaupun tidak bermusuhan, bisa dibilang saya tak banyak kenal dengan mereka, para tetangga saya itu. Baik orang tua, anak-anak, maupun yang sebaya dengan saya, tidak peduli berjenis kelamin lelaki atau perempuan. Saya sendiri, tentu saja, seorang laki-laki, karena tidak lazim seorang perempuan tinggal sendirian dalam sebuah rumah kontrakan, bangun tidur pada sore hari dan menguap lebar-lebar sambil menjulurkan kaki di atas meja tanpa merasa risih, walaupun bisa saja itu terjadi. Orang-orang yang saya kenal, dan sesekali saya ajak berbincang-bincang sekadarnya, hanyalah Pak RT dan isterinya yang tinggal bersebelahan dengan rumah kontrakan saya sekaligus pemilik rumah yang saya tempati itu. Itu pun kalau ada keperluan yang mendesak, misalnya saat membayar iuran listrik dan air bersih setiap awal bulan karena aliran listrik dan saluran air bersih di rumah kontrakan saya menyatu dengan rumah mereka. Saya tidak tahu persis siapa nama Pak RT yang sebenarnya. Saya memanggilnya begitu karena ia memang biasa dipanggil orang dengan sebutan itu. Ia adalah Ketua RT di daerah tempat tinggal saya. Pak RT tinggal bersama isterinya, saya menyebutnya Bu RT. Mereka tidak mempunyai anak.Saya memang tidak terlalu suka bergaul dengan orang. Saya lebih suka bergaul dengan tanaman, terutama dari jenis bunga-bungaan, karena mereka lebih sabar daripada orang. Lagi pula mereka tidak pernah usil. Itulah sebabnya saya menaruh dua pot bunga berisi tanaman suflir di beranda rumah kontrakan saya dan merasa senang karena bisa menanami halaman belakang rumah itu dengan bunga-bunga: mawar putih dan melati. Saya amat senang menikmati keindahan kuntum-kuntum mawar putih yang sedang merekah. Menurut sebuah buku yang pernah saya baca, mawar putih adalah simbol cinta yang suci. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan cinta yang suci itu, tak jelas benar bagi saya. Tapi sungguh, kuntum-kuntum mawar putih yang sedang merekah memang sedap dipandang. Apalagi apabila kuntum-kuntum bunga itu baru saja disirami dan tetes-tetes air tampak bergulir membasahi kelopaknya. Sering kali pada saat-saat seperti itu, saya teringat pada Tuhan. Dan saya merasa bahagia.Saya juga menyukai harum bunga melati. Aroma bunga itu mengingatkan saya pada ibunda yang telah meninggal dunia. Waktu saya masih kanak-kanak, ibu saya sering menaruh beberapa kuntum bunga melati yang baru dipetik dari halaman rumah di atas tempat tidurnya dan diam-diam saya sering menciumi aromanya yang lembut, yang melekat di atas lapik tempat tidur dan bantal ibu saya. Karena saya adalah seorang penulis yang lebih banyak bekerja di rumah dan hanya sesekali keluar apabila ada keperluan, misalnya mencari buku-buku untuk bahan tulisan ke perpustakaan, mengirim tulisan ke kantor pos, mengambil honor tulisan ke bank atau berbelanja kebutuhan sehari-hari ke mal di pusat kota sambil berjalan-jalan mencari udara segar, maka saya punya banyak waktu untuk bergaul dengan tanaman-tanaman peliharaan saya, sekaligus menikmati keindahannya di sela-sela jam kerja saya. Seperti saat ini, ketika senja sedang mekar-mekarnya.Sambil terus mengisap rokok dengan santai dan membiarkan pikiran melayang-layang mencari ilham untuk ditulis, sepasang mata saya terpaku nanar pada daun-daun suflir berwarna hijau di luar ruangan dengan ujung-ujungnya yang diganduli kantong-kantong spora, melekat pada tangkai-tangkai kehitaman yang lentur berkilat.Sebetulnya saya tidak benar-benar menatap nanar pemandangan di luar. Sesekali sepasang mata saya mencari-cari sesuatu. Sudah tiga hari ini saya tidak melihat perempuan tua penghuni rumah mungil bercat biru muda di seberang rumah kontrakan saya. Padahal, saat senja sedang mekar seperti ini biasanya ia duduk termenung sendirian di atas bangku kayu di depan rumahnya dengan sepasang mata tuanya yang terkadang membuat saya merasa takut. Kadang-kadang ia duduk termenung seperti itu dengan ditemani oleh seekor kucing belang.Menurut Bu RT suatu kali, saat saya berkunjung ke rumahnya untuk membayar iuran listrik dan air bersih, perempuan tua itu tinggal berdua saja dengan anak tunggalnya, seorang perempuan setengah baya yang telah lama bercerai dengan suaminya. Tak jelas mengapa mereka berpisah dan di mana bekas suaminya itu kini berada, tetapi perempuan itu kabarnya bekerja di sebuah pabrik tekstil yang cukup jauh dari tempat tinggal kami. Setiap hari kerja, ia pergi pagi-pagi sekali dan baru pulang menjelang malam, meninggalkan ibunya sendirian. Entah kapan awalnya, tanpa saya sadari, saya jadi sering mengamati perempuan tua itu apabila ia sedang duduk-duduk di depan rumahnya pada saat senja sedang mekar-mekarnya dan kebetulan saya juga sedang duduk di depan televisi yang biasanya tengah menyiarkan berita-berita politik yang membosankan. Mungkin itu terjadi sejak saya mengalami semacam insomnia itu sehingga saya baru bangun tidur pada sore hari dan sarapan tepat saat perempuan tua itu duduk termangu-mangu sendirian di atas bangku kayu di depan rumahnya yang mungil dan bercat biru.Walaupun saya tidak pernah bertegur sapa dengan perempuan tua itu, diam-diam saya senang memperhatikannya. Mungkin karena ia mengingatkan saya pada nenek saya sendiri yang jarang saya temui, atau mungkin karena sebab-sebab lain. Diam-diam saya sering menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu dari balik tirai yang menutupi kaca di ruang depan rumah kontrakan saya.Saya bertanya-tanya dalam hati apakah ia merasa kesepian, apakah ia merasa puas dengan hidupnya, atau apakah ia merasa bosan dengan kehidupan yang terus berputar dari itu ke itu juga, sebab pada dasarnya di dunia ini tak ada sesuatu yang benar-benar baru. Tapi saya tak pernah berusaha bertanya padanya. Saya hanya menatapnya diam-diam dari balik kaca pada saat senja sedang mekar. Kini, sudah tiga hari saya tak melihatnya dan diam-diam saya merasa gelisah.Hari segera berlalu dan senja berganti malam. Malam itu seperti biasa saya lewati dengan insomnia. Keesokan harinya saya bangun tidur lebih awal dari biasanya. Matahari sedang mendekati puncaknya saat saya terbangun karena sebuah mimpi buruk. Dalam mimpi itu saya bertemu dengan binatang yang pernah saya bunuh karena mengganggu tanaman kesayangan saya, tetapi tubuhnya besar sekali. Binatang itu mengejar-ngejar saya hingga akhirnya saya tersudut di sebuah lorong buntu. Lalu, tiba-tiba ia berubah menjadi perempuan tua yang sudah berhari-hari tidak saya lihat itu. Sepasang mata tuanya menatap tajam, membuat saya merasa ketakutan. Bibirnya menyeringai, menampakkan sebagian giginya yang telah tanggal. Saya menjerit sejadi-jadinya dan terbangun di atas tempat tidur dengan sekujur tubuh berpeluh.Setelah sadar sepenuhnya, saya segera mandi dan tanpa sempat sarapan saya segera bergegas ke rumah sebelah. Pak RT sedang tak ada di rumah. Dari isterinya akhirnya saya mengetahui kabar tentang perempuan tua yang telah muncul tiba-tiba dalam tidur saya itu.Tidak, tidak. Ia belum mati. Perempuan tua itu hanya tersiksa oleh rasa sepi dan bosan. Sepi dan bosan membuatnya pergi dari kota ini, kembali ke kampung halamannya. Di sini ia tak punya kawan sebaya dan anak perempuannya harus mencari nafkah sepanjang hari, membiarkannya sendiri tanpa teman yang bisa mengerti1. Dulu ia memang pernah punya teman yang sesekali bisa membuatnya betah untuk bertahan2, tapi kini temannya itu telah pergi meninggalkannya tercekam sepi. Mendengar semua itu, tiba-tiba saja saya merasa amat bersalah. Hati saya serasa perih, seolah-olah ada sebatang duri mawar yang tanpa sengaja tertancap di sana tanpa saya bisa melepaskannya. Sayalah yang telah membuat teman perempuan tua itu pergi meninggalkannya. Masih terbayang jelas saat saya membujuknya dengan sekerat dendeng. Tentu saja bukan dendeng sembarangan, melainkan sekerat dendeng beracun. Ya, malam itu saya telah membunuhnya. Saya telah membunuh seekor kucing belang entah peliharaan siapa yang sesekali menjadi pengusir rasa sepi perempuan tua itu. Tapi, sejujurnya, biarpun merasa bersalah, saya tetap tidak menyesalinya. Seperti yang pernah saya bilang, bukankah dalam hidup ini ada kalanya kita harus melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan?Hari berlalu begitu lesu. Malam telah larut dan sunyi, bahkan subuh sudah hampir menjelang, tetapi saya belum juga bisa tidur. Saya kembali terserang semacam insomnia. Saya matikan layar komputer, lalu pergi ke kamar mandi untuk mengambil seember air. Dengan penuh kasih sayang saya sirami tanaman suflir di beranda depan rumah kontrakan saya, lantai keramik di beranda itu tampak putih dan bersih, tak ada bekas jejak binatang sedikit pun. Lalu, saya pergi ke halaman belakang. Perlahan-lahan saya sirami rumpun-rumpun mawar putih dan melati yang saya tanam di sebuah sudut. Di bawah cahaya bulan purnama saya menikmati kilauan tetes-tetes air yang jatuh bergulir membasahi kelopak-kelopak bunga mawar yang sebagian sedang mekar, lalu menitik ke bumi melalui tangkainya yang berduri. Samar-samar saya bisa membaui aroma kembang melati yang meruap lembut. Tiba-tiba saja saya teringat pada ibu saya. Saya berhenti menyirami rumpun-rumpun mawar dan bunga melati. Kepala saya menengadah ke langit. Di angkasa yang tinggi saya melihat sepotong bulan yang bulat. Sudah lama sekali saya tidak menatap bulan. Bulan tampak indah jika dipandang dari kejauhan. Dengan mata sedikit terpicing, saya mencoba mengamat-amati bulan itu dengan lebih saksama. Ah, ternyata ibu saya benar. Ketika saya masih kecil, ibu pernah bercerita bahwa jika kita mempunyai setitik saja rasa kasih yang tulus dalam hati kita, maka kita akan bisa melihat bayangan seorang perempuan dan seekor kucing yang sedang bermain-main di bulan yang sedang purnama.3 Dan kini, saya berhasil melihatnya. Untuk pertama kali seumur hidup, saya berhasil melihatnya. Kucing dalam bulan mirip sekali dengan kucing belang yang pernah saya bunuh, tetapi perempuan yang sedang tersenyum itu pastilah bukan perempuan tua yang dulu diam-diam sering saya amat-amati dari balik tirai. Bukan, saya kenal baik dengan senyum itu. Sekuntum senyum yang merekah indah seperti kelopak-kelopak mawar putih itu adalah seulas senyum milik ibu saya.Wuthering House, 8 Juli 2001Catatan:1 Berdasarkan lirik lagu pop ciptaan Virgiawan Listanto alias Iwan Fals, Belum Ada Judul (1992).2 Mengutip kata-kata dalam sajak berjudul Melodia karya penyair misterius bekas Presiden Malioboro, Umbu Landu Paranggi. Kalimat sesungguhnya adalah, ”Cintalah yang sesekali membuat kita betah untuk bertahan…”3 Dalam mitologi Sunda yang diceritakan secara turun-temurun, terdapat kisah tentang seorang perempuan yang menghuni bulan bersama seekor kucing. Keduanya konon bisa terlihat dari bumi pada saat bulan sedang purnama.

1 komentar:

Ubaidina mengatakan...

pas sekali dg keadaan kami yg sdg menderita insomnia.tapi skrg kami sgd berjuang keras demi mendapatkan "hak" tidur/istirahat dimalam hari.bukankah Allah jadikan malan hari untuk tidur, siang hari untuk beraktifitas.uhhh,berjuaaanglah wahai penderita insomnia(termasuk saya)!!!