Minggu, 28 Juni 2009

wajah di balik cadar

Wajah di balik Cadar
Wajah dalam cermin itu tampak sengsara. Kornea mata kanan memerah-saga karena pembuluh darah sekitarnya pada pecah. Pipi bagian kiri memar membiru. Bibir terluka dan membengkak. Siksaan yang berhasil memorak-porandakan wajah yang semula cantik jelita. Petronela Perdita tak dapat mengenali wajahnya sendiri. Lelah memandang wajah lara di kaca, Petronela alias Nela memejamkan mata. Peristiwa sadis kemarin sore muncul kembali dalam ingatannya. Mario datang dengan wajah garang, lalu menyeret dirinya dari kamar kemudian dibenturkan pada kusen pintu sehingga pipinya biru lebam. Tangan kiri Mario melayang menerpa matanya, sementara tangan yang lain memecahkan bibir dan menghitamkan dagunya. Sumpah serapah yang tak jelas, berhamburan dari mulut Mario sambil pergi meninggalkan Nela dengan derita rohani jasmaninya. ''Sabaaar! Orang sabar dikasihi Allah,'' hibur Ibu Yulia, mertuanya, dua tahun lalu ketika Nela mulai dibantai Mario pertama kali. ''Sabaaar Nak!'' kata-kata itu diucapkan Ibu Yulia setiap kali Nela dijagal suaminya, Mario, tanpa sebab yang jelas dan berlangsung rutin selama dua tahun. ''Slogan gombal!'' protes Nela membatin. ''Menyuruh bersabar tanpa batas waktu. Memberikan harapan akan dikasihi Allah tanpa penjelasan lanjutan, kapan kasih Allah itu datang.'' Meski batinnya memprotes keras, Nela memilih bersikap sabar. Karena itu dia tidak menangkis pukulan, tidak juga menanyakan alasan mengapa dirinya dipukul dan ditendang. Selama dua tahun enam bulan menjadi istri Mario, dia berusaha menata diri dengan cermat sehingga luput dari kesalahan ucapan, tindakan, bahkan juga bebas dari angan-angan buruk. Petronela Perdita adalah istri yang sempurna. Cantik, cerdas dan santun dalam setiap ucapan serta tindakan. Jam dinding berdentang dua belas kali. Nela terbangun dari lamunannya. Nela menatap wajah sengsara di cermin. Wajahnya sendiri. Ia mencoba tersenyum, tetapi wajah di cermin tampak menyeringai karena bibirnya tidak lagi simetris. Diolesnya lipstik merah-marun. Hasilnya seperti segumpal daging tanpa bentuk, karena bibir itu membengkak. Bagaimana mungkin ia muncul dengan wajah yang seperti itu. Lebih tidak mungkin lagi, kalau dirinya tidak hadir dalam upacara nanti. Nela menghela napas panjang lalu memejamkan mata tak berdaya. Ana datang dalam ingatannya. Adiknya, Ana, pramugari sebuah perusahaan penerbangan dengan rute luar negeri datang setahun lalu pada hari ulang tahun Nela yang ke-32. Ketika itu Nela sedang mengobati kepalanya yang terluka dipukul Mario dengan sepatu. ''Sudahlah mbak Nela. Nunggu apa lagi. Cerai sekarang juga,'' desak Ana. ''Tidak An. Cerai bukan penyelesaian,'' sahut Nela. ''Nanti kamu mati, dicincang....'' ''Biarin,'' sahut Nela. ''Kamu itu istri paling bodoh sedunia. Dipukuli, dihina malah betah menjadi istri bajingan itu,'' cecar Ana sengit. ''Suamiku Mario bukan bajingan, An.'' ''Ya sudah. Ini oleh-olehku dari Beirut,'' kata Ana sambil memberikan bingkisan kecil. Nela mengambil bingkisan kecil itu dari laci meja rias lalu, membukanya. Sehelai kerudung hitam dan secarik kain transparan. Cadar buatan Beirut Libanon. Dipakainya kerudung. ''Mater Dolorosa,'' ia berucap tanpa sadar. ''Bunda Dukacita.'' Julukan bagi Bunda Maria. Nela menggeleng. Julukan itu tidak tepat bagi dirinya. Kerudung Bunda Maria berwarna biru, kerudungnya berwarna hitam. Duka Bunda Maria karena Yesus, putranya disiksa dan disalibkan di depan matanya sendiri. Duka Nela tidak terumuskan. Orang-orang menyebutnya kebodohan, karena tidak mau lari dari penderitaan. Yang lain menyebutnya kepasrahan yang bebal. ''Terserah mau disebut apa. Yang pasti aku tak ingin lari dari posisiku sebagai istri Mario,'' kata Nela dalam hati. Dipakainya cadar, maka tertutuplah wajahnya oleh kain transparan. Jam dinding berbunyi sekali. Pukul satu. Nela tersentak mendapatkan dirinya hanya berkemben handuk. Dia baru saja mandi untuk mengikuti upacara. Nela melepas handuk di tubuhnya. Sangat indah dalam bentuk, ukuran, dan warna kulitnya. Sayang di sana-sini tampak bekas luka dan memar. Parutan hitam melintang di dadanya. Bekas goresan cincin kawin di tangan Mario ketika merenggut BH di tubuh Nela hanya karena berwarna hitam. ''Kampungan!'' teriak Mario ketika itu. ''Nyonya Mario MBA memakai kutang hitam. Ayo bukaaa!'' jerit Mario sambil menarik BH itu dengan sangat keras dan kasar sehingga cincin kawin di jari manisnya mengikis dan memarut kulit dada Nela. Pedihnya, perih sekali. Pada bagian perut terdapat noda kecokelatan hasil sabetan raket tenis dari tangan Mario tiga bulan lalu, ketika Mario akan mengikuti turnamen tenis amal untuk pembelaan hak-hak wanita. Kawasan di bawah perut halus mulus tanpa noda. Paha bagian luar terdapat memar memanjang hasil sepakan kaki Mario dan pada bagian betis terdapat bekas luka hasil pecahan botol bir yang dicampakkan Mario. Nela tercenung menimbang, gaun apa yang pantas dan dapat menutup semua noda itu. Ia membuka lemari. Diraihnya sebuah gaun yang belum pernah dipakainya. Gaun beludru hitam panjang yang dapat menutup dari leher hingga ke betis. Dipakainya gaun itu, kemudian meletakkan kerudung hitam di kepala dan memasang cadar Libanon di wajahnya. Tertutuplah semua noda dan derita. Yang tampak adalah sosok yang anggun semampai dengan tubuh yang berisi dan putih bersih. Seperti itulah ia tampil empat tahun lalu di kantor Bank Grasia dan langsung diterima sebagai sekretaris direksi. Pak Atmadibrata, pemilik bank itu, memintanya menjadi maskot perusahaannya. Maka, wajah Petronela Perdita terpampang di mana-mana bersama iklan poster, baliho dan leaflet Bank Grasia, bank yang bonafid. Bank yang lolos dari badai dan turbulensi politik dan ekonomi. Bank yang berpihak pada pengusaha kecil dan menengah yang tak mempan digoyang kurs dan ekonomi dunia. Petronela Perdita hadir dalam impian dan rayan-rayan para eksekutif muda. Entah karena apa, Nela menerima lamaran Bapak Atmadibrata untuk menjadi istri Mario, lengkapnya Mario Atmadibrata MBA, yang sedang berada di Los Angeles. Pernikahan yang semarak dan meriah. Lima ribu undangan terpukau dan terpesona menyaksikan acara yang rapi dan mempelai yang bersanding serasi. Menyusul berbulan madu. Nela ingin berbulan madu di luar negeri, tetapi tidak berani mengatakannya. Akhirnya mengikuti kemauan Mario berbulan madu ke Taman Wisata Labuan Bajo. Dari atas Villa Warloka di puncak bukit, tampak puluhan gugusan pulau tersebar di permukaan teluk di bawah sana. Diperlukan waktu sebulan berbulan madu, tujuannya agar kedua mempelai dapat saling mengenal, karena sebelumnya Mario menghabiskan lebih dari separuh usianya di Los Angeles. Pernikahan tanpa rasa cinta. Keduanya sangat menyadari hal itu. Satu-satunya yang menjadi ikatan adalah rasa sayang mereka pada Bapak dan Ibu Atmadibrata yang sangat baik hati. ''Aku tahu, kamu sangat disayang papa dan mama,'' kata Mario di minggu kedua bulan madu. ''Tidak ada artinya bagiku tanpa kasih dan cinta dari manusia yang kusebut suami...,'' sahut Nela. Mario merangkul dan melumat bibirnya lalu berjanji untuk membangun rasa saling cinta. Bukan janji hampa, karena Mario menunjukkan cintanya dengan memberikan apa saja yang diinginkan Nela. Celakanya Nela tidak punya keinginan apa-apa kecuali mendambakan belaian, ucapan dan perlakuan yang lembut dari Mario. Dari hari ke hari Nela semakin yakin kalau Mario tak dapat memenuhi harapannya. Hidup bergelimang uang tanpa kasih sayang. Nela dihujani uang, diberi cek, diserahi credit card begitu sering, sesering tangan Mario menampar dan meninjunya. Nela sungguh tidak mengerti apa yang terjadi dalam diri suaminya. Ia berusaha untuk mencari tahu misteri dalam diri Mario tanpa beranjak dari rumah. Informasi berdatangan lewat telepon, faksimile, sms, dan internet. Dari kantor Bank Grasia, orang kepercayaan Nela mengirim faks menjelaskan bahwa Dewan Direksi memutuskan untuk memberi gaji penuh setiap bulan kepada Mario tanpa harus masuk kantor, karena tidak ada jabatan yang cocok untuk dirinya. Mario sama sekali tidak becus bekerja. Konsepnya liar, spekulatif dan cenderung menyeret Bank Grasia ke jurang kehancuran. Karena itu, tanpa mengurangi haknya untuk berfoya-foya, Mario dipersilakan untuk tidak masuk kantor. Begitu tertulis dalam faksimile. ''Aneh!'' desis Nela, usai membaca faks itu. ''Sarjana manajemen jebolan Amerika tidak becus bekerja di bank Indonesia.'' Telepon berdering. ''Hallo Nel, sorry. Agak terlambat ngasi tau kamu,'' suara telepon. Terbayang Mbak Hermina, seniornya di Bank Grasia yang kemudian dipersunting oleh Mr. Steven van Nassau dari Bank Dunia. ''Orang-orang Indonesia di Los Angeles menjelaskan, bahwa Mario Atmadibrata itu berengsek. Nggak kuliah. Hidupnya berfoya-foya.'' Nela menahan napas, suara di telepon berlanjut, ''Ijazah MBA yang sekarang dibangga-banggakan seratus persen palsu. Teman-temannya preman hitam di L.A.'' ''Terima kasih untuk informasinya Mbak Hermina,'' suara Nela lirih. Petronela termangu. Haruskah ia katakan hal itu kepada Bapak dan Ibu Atmadibrata, lalu membiarkan kedua orang itu jantungan? ''Tidak!'' tegas Nela dalam hatinya. ''Salib derita ini kupanggul sendiri". Ketika Mario mulai aktif dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan, Nela memberi dukungan. Ia sempat bangga melihat Mario tampil di sebuah televisi swasta dalam acara debat terbuka dengan topik "Hak-hak Wanita". Tampaknya Mario sangat menguasai persoalan. Lambat laun ketahuan kalau semuanya tidak murni. Ia menggunakan uang agar tampil, dan membayar penulis untuk mendapatkan naskah ucapan. Singkatnya Mario menggunakan uang agar dapat tampil dan terkenal serta dihormati. Hati Nela geram. Ini komedi yang tak lucu. ''Sabaar!'' suara Bu Yulia selalu terdengar manakala hatinya marah. "Iya bu. Saya akan selalu sabar,'' suara hati Nela. Rasanya Allah tidak akan menolong hanya karena kita sabar. Harus ada usaha. Maka Nela berusaha merancang hari esoknya dengan uang yang diberikan oleh Mario. Kalau besok Mario mencampakkannya, dia harus mampu tegak di atas kakinya sendiri. Pikir Petronela. Setiap kali Mario pergi dan menginap entah di mana, Nela juga pergi untuk memanfaatkan uang yang diberikan Mario. Setahun lalu Nela tahu kalau Mario pergi bersama wanita lain. ''Sabaar...,'' ucap Bu Yulia setiap kali menemukan Nela sendirian. Nela diam seribu bahasa. Tidak tega merobek hati Ibu mertuanya dengan cerita buruk tentang Mario. Biarlah Mario hadir sebagai pahlawan atau kesatria dalam hati orang tuanya. Sebagai istri, Nela telah siap menerima Mario apa adanya. Bahwa Mario adalah pemuda mentah yang dikarbitkan, dibesar-besarkan dan diberi tanggung jawab yang kelewat besar di luar kemampuannya. Gagal kerja di bank ayahnya, Mario berlagak aktif di lembaga-lembaga sosial sekadar pelarian dan mencari jalan untuk dikenal. Ternyata ia diterima bukan karena visi atau konsepsinya melainkan karena uangnya. Mario lalu ingin berkuasa. Tidak sanggup melalui koridor politik, ia memakai uang. Maka ia berkuasa atas wanita-wanita yang bisa dibawanya ke hotel-hotel. Ia juga berkuasa mutlak atas Nela dan diperlakukan semena-mena. Itulah sesungguhnya sosok Mario Atmadibrata. Dugaan Nela ternyata benar. Kemarin, setelah memukul Nela, Mario pergi ke luar kota bersama wanita lain, entah siapa. Berita di koran dan televisi pagi tadi membenarkan hal itu. Nela menghela napas lalu memakai sepatu. Kakinya terasa sangat sakit karena jari kakinya lecet terinjak Mario. Bapak Atmadibrata muncul beriringan dengan Ibu Yulia. Tanpa suara, tanpa mengucapkan sepatah kata, keduanya merangkul Nela bergantian. ''Kita berangkat Nak!'' kata Pak Atmadibrata mengajak Nela. Jam dinding berdentang ganda. Pukul dua. Ketiganya masuk dalam satu mobil lalu meluncur pergi. Nela bertekad untuk menjaga cadar di wajahnya agar tidak jatuh. Orang-orang tidak perlu tahu tentang keadaan wajahnya akibat kekejaman Mario, suaminya. Cadar itu dapat menjaga citra Mario. Biarlah Mario tetap dianggap pria flamboyan yang humanis, lembut, dan ramah. Sarjana unggulan dan suami panutan. Dusta demi kebaikan bukanlah dosa, pikir Nela. Iringan mobil yang sangat panjang meluncur ke arah terbenamnya matahari, lalu membelok memasuki gerbang besi Purgatori, sebuah pemakaman elit. Mata ribuan hadirin yang terfokus ke liang lahat beralih ke sosok bergaun hitam yang perlahan mendekat. ''Istri almarhum,'' bisik hadirin berantai. Nela melangkah anggun dengan kerudung dan cadar transparan menutupi wajahnya. Kisah tentang kecantikan Nela diestafetkan dari mulut ke mulut. Wajahnya terpampang di seantero kota bersama iklan Bank Grasia. Orang-orang yang belum pernah melihatnya penasaran dan berharap agar cadar itu jatuh atau dibuka oleh Nela. Usai disembahyangkan, wakil pihak keluarga menyampaikan sambutan berisi ucapan terima kasih untuk kesudian menghadiri upacara pemakaman itu. ''Mario adalah anak kebanggaan yang telah berhasil memenuhi impian dan harapan orangtuanya. Ia berhasil meraih gelar MBA di Amerika. Bank Grasia mekar dan bersinar berkat gagasan cemerlang almarhum. Sayang, dia belum sempat menimang anak, sudah dipanggil pulang oleh Yang Maha Kuasa. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan YME sesuai amal baktinya. Sebelum kami akhiri sambutan ini, perlu kami jelaskan dan jernihkan berita-berita yang muncul di koran dan televisi, pagi dan siang tadi. Berita itu tidak benar. Sungguh tidak benar almarhum Mario keluar kota dengan wanita lain. Almarhum pergi....'' ''Dengan saya,'' sela Nela lantang dan meyakinkan. Perlahan ia membuka cadar penutup muka. Ditimpa mentari senja, wajah Nela tampak nyata. Kornea mata memerah, pipi merah dan bibir membengkak. Hadirin mengelus dada bersyukur karena wanita cantik itu tidak senasib Putri Diana. Diawali batuk-batuk kecil, wakil keluarga bersuara, ''Kita patut bersyukur karena istri almarhum yaitu Nyonya Petronela Perdita Atmadibrata hanya mendapat cedera ringan.'' Hadirin menyambutnya dengan suara dengungan, bernada syukur dan kagum karena Nela berhasil selamat dalam musibah itu. Mentari makin condong ke barat. Yang tertinggal di makam itu hanya Nela dan beberapa orang temannya. Ia puas dan bangga karena berhasil membangun kembali citra suaminya yang sudah jatuh. Nela juga berhasil mengukir citra dirinya sebagai istri yang setia dan tabah. Setia mengikuti suami sampai detik terakhir hayatnya dan tabah menghadapi musibah yang menimpa suami serta dirinya. Mata hadirin di pemakaman tadi menunjukkan bahwa mereka sangat percaya pada kesaksian Nela. ''Terima kasih, Nak,'' ucap Pak Atmadibrata kepada Nela di rumah keluarga Atmadibrata yang besar, luas, dan megah itu. ''Kamu membela Mario sampai ke liang lahat,'' timpal Bu Yulia. ''Karena dia sudah pergi, tak ada lagi yang perlu dirahasiakan,'' kata Pak Atmadibrata, lalu melanjutkan, ''Sudah setahun lalu kami tahu kalau Mario itu enggak benar. Ijazah MBA-nya palsu. Enggak becus kerja. Kegiatan sosialnya hanyalah pelarian dan untuk menghamburkan uang. Bapa dan Ibu juga tahu tentang wanita-wanita hiburannya. Kami kagum akan kesabaranmu. Sungguh luar biasa.'' Ibu Yulia membelai rambut Nela dan mengecup pipinya sambil berbisik lembut, ''Kau adalah anak kami yang sesungguhnya. Jaga rumah ini sebagai milikmu. Bapak dan Ibu kembali ke kampung.'' Ketika matahari Maret menyingsing di ufuk timur, Nela berada di halaman rumahnya yang sangat luas di perbukitan Cinere, siap untuk meninjau usahanya, yaitu rumah makan di kawasan puncak dan hotel di kawasan pantai serta perusahaan furnitur yang dibangun dengan uang yang diterima dari Mario. Dia juga pemilik sah Bank Grasia dan rumah mewah megah yang dulu didiami bapak dan ibu Atmadibrata. Barangkali itu wujud welas asih Allah atas kesabarannya. Bekasi, 12 Maret 2002

Tidak ada komentar: