Jumat, 19 Juni 2009

gombal mukiyo

Gombal Mukiyo Cerpen M. Shoim Anwar Dimuat di Republika 11/30/2008 Matahari mulai longsor ke akar langit. Sore pun menjemput. Mega di ufuk barat menyisakan warna merah seperti bara membakar gumpalan-gumpalan kapas. Kerbau-kerbau dan berbagai binatang piaraan digiring pulang oleh para pengembalanya. Sebagian para pengembala terlihat membawa ikatan rumput di atas kepala. Terdengar suara lori menderu-deru dari arah utara. Ini pasti lori pengangkut tebu dari wilayah Papar dan Purwoasri yang hendak dibawa ke pabrik gula. Mukiyo, lelaki kurus kerempeng, berdiri di tepi jalan yang hendak dilewati kendaraan milik pabrik gula itu. Pandangannya diarahkan ke tempat lori itu akan muncul. "Jangan terlalu dekat dengan rel!" aku berseru kepadanya."Lha wong orang sakti kok," jawab Mukiyo sambil menepuk-nepuk dadanya."Sakti bathukmu! Kamu bisa remuk digilas lori.""Ah, kecil," Mukiyo mempertemukann ujung jempol tangan kanannya ke ujung kelingking sambil digerak-gerakkan."Bosan hidup apa?""Mukiyo menatap ke arahku. Tiba-tiba dia berkacak pinggang. Matanya dibuka penuh sambil manggut-manggut. Tanpa kata-kata. Dia seperti menantang aku. Sementara ujung kaki kanannya digerak-gerakkan naik-turun menyentuh rel. Jengkel juga aku. Kuambil potongan kayu di bawah dan kulemparkan kepadanya. Ketika potongan kayu akan menerjang, Mukiyo dengan sigap mengangkat kakinya untuk menghindari lemparanku. Dengan sangat cepat kakinya membentuk kuda-kuda. Kedua tangannya diangkat menyilang ke depan dada sambil mengeluarkan tenaga."Minggir!" aku membentak"Minggiran?" dia mengejek."Kamu saya lempar!""Papar?" kembali dia menyebut nama tempat sambil menuding ke utara."Ada sepur!""Pur? Purwoasri?""Saya jotos!""Tos? Kertosono?""Lihat, lori sudah dekat!""Lori? Ri...? Riwayatmu ini.... Bengawan Solooo...." "Mukiyo tambah mengejek. Kali ini dia menyanyikan lagu keroncong Bengawan Solo. Sementara lori sudah terlihat makin mendekat. Lokomotifnya menyeret rentetan gerobak berisi tumpukan tebu. Pandangan Mukiyo diarahkan ke lori. Aku ingin berlari menyeretnya. Tapi lelaki itu tampak mulai bersiaga menyambut kedatangan lori. Dan benar. Mukiyo melompat dua langkah ke belakang seperti bermain silat. Dia pasang kuda-kuda dengan posisi tubuh setengah membungkuk. Kedua lengannya membuka di depan dada. Lori telah melaju di depannya. Mukiyo menatap dengan tajam. Matanya menyelidik ke bagian demi bagian. "Tebu rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat," katanya keras.Mukiyo menghentakkan kakinya. Dia meloncat ke salah satu gerobak dan bertengger. Beberapa meter lelaki itu ikut mengalir. Laju lori memang tidak begitu kencang. Beberapa saat kemudian Mukiyo meloncat kembali turun. Kali ini dia langsung berkacak pinggang sambil manggut-manggut. Debu-debu berhamburan di sekitar lori. Ketika gerobak lori sampai pada bagian yang terakhir, Mukiyo kembali beraksi. Kali ini dia dengan cepat membetot batang-batang tebu dari bagian belakang. Tampak dia kewalahan karena batang-batang tebu itu terlalu kuat ikatannya sehingga tak mampu dicabut. Mukiyo ikut terseret dan dia terpaksa mengerahkan tenaganya agar batang tebu yang dicabutnya itu dapat lepas. Dan benar. Sebatang tebu mampu dibetot dan terlepas dari ikatannya. Tapi, karena dia mengerahkan seluruh tenaganya ke arah belakang, begitu tebu tiba-tiba lepas, Mukiyo pun jatuh ke belakang dan terguling-guling di tanah."Apa kata saya?"Aku berusaha menolongnya. Tapi Mukiyo cepat-cepat bangkit."Anak buah Pak Dirman," katanya menepuk-nepuk dada."Untung kamu tidak digilas," aku menuding jidatnya."Pengalaman gerilya dengan Pak Dirman," dia menuding ke atas dengan eskpresi bangga."Mencabut tebu saja tak becus ngaku anak buah Pak Dirman.""Husss! Jangan meremehkan," katanya sambil mematahkan batang tebu. Sebelum pindah ke sini, Mukiyo dulu hidup sekampung dengan aku. Kami sama-sama masuk ke sekolah rakyat walau tidak sampai tamat. Dengan Mukiyo pula kami bermain saat hujan-hujan, mandi di sungai, mencari jangkrik, mencuri tebu dan mentimun di sawah, dan masih banyak lagi. Mukiyo memang anak yang nakal dan pemberani. Dan aku terseret bersamanya. Orang tua Mukiyo adalah seorang lurah di daerah Ngadiluwih. Mukiyo adalah anak tunggal dari perkawinan antara Lurah Saeri dan Mutoyah. Ibu Mukiyo sendiri adalah istri yang keempat. Konon, Lurah Saeri juga punya istri di Dukuh Kepuh, Mitiran, Kandang Sapi, Reco, Badal, Bedug, juga di Brongkahan. Semua istri Lurah Saeri memiliki anak. Anak Lurah Saeri dengan istri-istrinya tidak kurang dari tiga puluh anak. Di tiap-tiap wilayah itu pula Lurah Saeri memiliki sawah yang cukup luas untuk menghidupi istri-istri dan anak-anaknya. Lurah Saeri sendiri mengaku masih memiliki garis keturunan dari Bung Karno. Mukiyo menikah dengan Parsih dan tinggal di daerah Kandat. Ketika istrinya hamil tua, ada tanda-tanda Gunung Kelud akan meletus. Seluruh warga panik dan mengungsi ke arah utara. Aku dan keluargaku juga mengungsi. Tapi Mukiyo dan istrinya tetap bertahan karena kondisi kehamilannya sudah sembilan bulan. Gunung Kelud akhirnya benar-benar meletus dengan hebatnya. Mukiyo dan istrinya terpaksa harus meninggalkan desanya. Saat perjalanan itulah istri Mukiyo melahirkan. Banyak wilayah yang porak poranda. Dalam situasi demikianlah Mukiyo menjadi bapak. Dia sangat mencintai anaknya. Dia menggendong anaknya dari satu tempat ke tempat lainnya.Beberapa hari setelah itu hujan turun dengan lebatnya. Kawasan Gunung Kelud diguyur hujan berjam-jam. Banjir bandang pun menerjang. Air bercampur lumpur dan berbagai material menyapu desa-desa di wilayah utara. Rumah-rumah roboh. Pepohonan tumbang. Berbagai jenis ternak terbawa arus dan mati. Korban jatuh di mana-mana. Demikian pula keluarga Mukiyo. Lelaki itu tak mampu menyelamatkan anak dan istrinya yang tergulung banjir. Peristiwa itu terjadi di depan Mukiyo. Dia sendiri selamat karena tersangkut pohon besar bersama buntalan pakaian istri dan anaknya."Tebu ini untuk istri dan anakku," kata Mukiyo."Anak dan istrimu sudah tak ada," aku membalas. "Hus! Siapa bilang?" Mukiyo membentak. "Ini pakaiannya aku bawa. Mereka harus kutemukan."Mukiyo mundur ke pinggir jalan. Hari semakin meremang. Lelaki itu mengambil tumpukan gombalnya di bawah pohon asam. Berbagai pakaian bekas dan serpihan-serpihan kain yang sudah sangat kumal dan kotor itu diangkut lagi oleh Mukiyo. Lelaki itu menggendong gombal ke mana-mana. Setiap dia menemukan pakaian bekas pasti akan dibawanya. Gombal itu katanya untuk istri dan anaknya. Dari hari ke hari gombal yang digendong semakin banyak."Cepat pulang!" kataku padanya. Kali ini aku harus menutup hidung. Bau gombal itu sangat menusuk. Angin dari arah selatan mengalirkan bau gombal Mukiyo ke arah utara. Meski sosoknya belum kelihatan, siapa pun akan tahu bahwa Mukiyo akan muncul di tempat itu. Bau itulah yang menjadi pertanda terlebih dahulu akan kehadiran Mukiyo. Ketika bau itu mulai tercium, orang-orang biasanya langsung berkomentar, "Gombal Mukiyo."Lelaki itu berjalan ke arah selatan sambil menggendong gombalnya. Baunya yang menyengat semakin memantul ke hidungku bersama terpaan angin. Aku ingin muntah. Mukiyo terus berjalan dengan langkah berat. Gombalnya yang panjang dan terlepas dari ikatan ikut terseret di atas tanah membentuk garis memanjang. Hari semakin meremang. Mukiyo pun semakin menghilang. Tapi baunya terus mengalir digiring angin, dari desa ke desa, dari kecamatan satu ke kecamatan lainnya, dari kota satu ke kota berikutnya. Bau Mukiyo menembus dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun. Gombal Mukiyo telah menyatu dengan waktu.***

Tidak ada komentar: